Beberapa tahun silam, tepat tanggal dan harinya, bahkan tahunnya saya gak ingat pasti. Yang teringat hanya sedikit perselisihan kecil antara seorang jamaah dengan Pak Kyainya. Dan kampungku bisa dikata masyarakat NU semua. Kala itu tetangga saya, waktu SMA adalah adik kelas selisih dua tahun, hendak mengadakan aqiqah hari ke-tujuh kelahiran anak pertamanya. Kebiasan kampung yang menyembelih hewan aqiqah adalah Pak Kyai-nya.
Nah, saat pengulitan inilah tiba-tiba suara menyeruak di antara krumunan mereka yang lagi sibuk menguliti dua ekor kambing.
” Plu, semua kaki kambing di potong pas di ruasnya ya, terus dikumpulin dan dikubur di satu tempat” tegas seorang yang berbadan tinggi besar sembari mengacungkan golok di tangannya ke ara Cemplu.
Cemplu dan yang lainnya hanya mengiyakan omongan yang ternyata terkoar dari lisan pak Sahri, karena mereka gak tahu sama sekali hukum-hukum yang terkait aqiqah.
Tapi, di antara mereka ada yang sedikit kritis, ” Lho, eman-eman banget [ sayang sekali ] semua kaki kambingnya harus di buang sia-sia, bukannya ikut dimasak saja, kan lebih manfaat ” sangkal Pak Mugi.
Pak Sahri gak terima dengan pendapatnya Pak Mugi, beragam alasan dilontarkan dari lisannya hingga ia berdalih dengan petuah Pak Kyai,menghormati leluhur dan kebiasan warga dari kampung sebelah.Keduanya eker terus [berdebat tak ada habisnya],sementara yang lain hanya bengong mlompong melihat otot-otot leher keduanya terus menegang.
Tak lama kemudian datanglah Pak Kyai Muhyidin dari kamar mandi selepas membersihkan sisa darah di tangan dan goloknya.Keberadaan Pak Kyai ini membuat keduanya terdiam,”Kyai! yang benar yang mana nih,harus dikubur apa ikut dimasak kaki wedusnya?”tanya Cemplu yang lebih menuruti kata-kata Pak Sahri.
“Yang saya ketahui dalam haditsnya harus ikut dimasak, bukan dikubur, tapi semua tulang itu harus dipotong pas di tiap ruasnya, jangan dipecah ditengahnya” jawab Pak Kyai Muhyidin.
Semua mereka akhirnya menuruti apa yang dikata Pak Kyai, meski Pak Sahri masih berkerut dahi dan berdongkol ati.
Dari cerita di atas bisa terlihat betapa awamnya sebagian besar masyarakat NU akan ilmu agama, pula betapa nurutnya mereka dengan apa yang dikata ulamanya, namanya juga NU [ Nuruti Ulama ], semua yang tertutur dari ulamanya [ Pak Kyai ] serasa benar adanya, gak ada yang salah. Padahal Kyai juga manusia biasa layaknya mereka yang tak lepas dari kempulan debu-debu kotor.
Menurut mereka, Kyai tidak boleh salah, Kyai akan suci terus, dan ia adalah sumber ngalap berkah, kala hidup pula setelah wafatnya.
Wah kalau kayak gini repot jadinya, kedudukan Kyai ngalah-ngalahin derajat Nabi saja di mata mereka, sehingga tak jarang petuah Kyai jauh lebih manjur dan langsung dilakoni jamaahnya meski sebenarnya berselisih jauh dengan sabda Rasulullah.
Saya sendiri belum mengenal pasti asal muasal mengapa mereka begitu taat, ngajeni [ hormat sekali ], dan berpola pikir seperti itu terhadap Kyainya.
Rujukan Kyai mereka adalah kitab kuning yang sangat kental dan identik dengan kesehariannya, pola pendidikan salafiyah yang tradisional di pondok-pondok yang menjadi sumber menimba ilmu para generasinya juga masih terjaga dan melekat kuat di antara mereka.
Sederhana, bersahaja, rasa hormat penuh akan Kyai dan guru, manut [ taat ], tak boleh melawan Kyai, atau kebersamaan merupaka sebagian nilai-nilai yang saya amati telah berhasil dan terus tertanam turun temurun di antara mereka berbilang generasi. Inilah yang menjadi ciri khas mereka yang sangat tampak.
Nilai-nilai itu sangat postitif awalnya, tapi setelah ditelisik mendalam, ternyata mereka terdoktrin kepatuhan yang berlebihan, inilah yang menjadi masalahnya.
Para Kyai ingin agar mereka layaknya seorang raja, penuh kewibawaan dan ditaati semua masyarakatnya. Hal ini agar mereka benar-benar takut melakukan pelanggaran dalam kesehariannya dan terciptalah sebuah masyarakat yang penuh kedamaian.
Sayangnya, ajakan Kyai itu tertuju agar mereka hormat atau taat pada dirinya dan bukan pada ajaran Rasulullah. Sementara rujukan Pak Kyai banyak yang bersumber dari hadits-hadits dhoif, maudhu, atau bahkan munkar. Semua tertemu dari kitab-kitab kuningnya dan masih sebelah mata untuk membuka kitab-kitab putih yang lain.
Bahkan kerap kali mereka beristimbat dengan dalil termanjurnya, yakni istihsan [ menganggap baik sebuah perkara ]. Selama perkara itu dianggapnya baik menurut mereka, meski sejatinya bertentangan dengan nash yang shohih [ baik shorih [ jelas ] atau tidak ], maka ia boleh diamalkan.
Inilah yang menjadi cikal bakal menjamurnya amalan-amalan mereka yang jauh dari sunnah Rasulullah dan para Sahabatnya.
Perbuatan Kyai-Kyai mereka diperkuat dengan paradigma kolot masyarakatnya yang menganggap para Kyainya adalah manusia pilihan yang bersih, dan perkataan atau petuah mereka adalah selalu benar adanya.
Sulit terasa merubah sebuah paradigma yang kolot dan telah turun menurun di antara mereka. Inilah tugas kita-kita semua!
Nah, saat pengulitan inilah tiba-tiba suara menyeruak di antara krumunan mereka yang lagi sibuk menguliti dua ekor kambing.
” Plu, semua kaki kambing di potong pas di ruasnya ya, terus dikumpulin dan dikubur di satu tempat” tegas seorang yang berbadan tinggi besar sembari mengacungkan golok di tangannya ke ara Cemplu.
Cemplu dan yang lainnya hanya mengiyakan omongan yang ternyata terkoar dari lisan pak Sahri, karena mereka gak tahu sama sekali hukum-hukum yang terkait aqiqah.
Tapi, di antara mereka ada yang sedikit kritis, ” Lho, eman-eman banget [ sayang sekali ] semua kaki kambingnya harus di buang sia-sia, bukannya ikut dimasak saja, kan lebih manfaat ” sangkal Pak Mugi.
Pak Sahri gak terima dengan pendapatnya Pak Mugi, beragam alasan dilontarkan dari lisannya hingga ia berdalih dengan petuah Pak Kyai,menghormati leluhur dan kebiasan warga dari kampung sebelah.Keduanya eker terus [berdebat tak ada habisnya],sementara yang lain hanya bengong mlompong melihat otot-otot leher keduanya terus menegang.
Tak lama kemudian datanglah Pak Kyai Muhyidin dari kamar mandi selepas membersihkan sisa darah di tangan dan goloknya.Keberadaan Pak Kyai ini membuat keduanya terdiam,”Kyai! yang benar yang mana nih,harus dikubur apa ikut dimasak kaki wedusnya?”tanya Cemplu yang lebih menuruti kata-kata Pak Sahri.
“Yang saya ketahui dalam haditsnya harus ikut dimasak, bukan dikubur, tapi semua tulang itu harus dipotong pas di tiap ruasnya, jangan dipecah ditengahnya” jawab Pak Kyai Muhyidin.
Semua mereka akhirnya menuruti apa yang dikata Pak Kyai, meski Pak Sahri masih berkerut dahi dan berdongkol ati.
Dari cerita di atas bisa terlihat betapa awamnya sebagian besar masyarakat NU akan ilmu agama, pula betapa nurutnya mereka dengan apa yang dikata ulamanya, namanya juga NU [ Nuruti Ulama ], semua yang tertutur dari ulamanya [ Pak Kyai ] serasa benar adanya, gak ada yang salah. Padahal Kyai juga manusia biasa layaknya mereka yang tak lepas dari kempulan debu-debu kotor.
Menurut mereka, Kyai tidak boleh salah, Kyai akan suci terus, dan ia adalah sumber ngalap berkah, kala hidup pula setelah wafatnya.
Wah kalau kayak gini repot jadinya, kedudukan Kyai ngalah-ngalahin derajat Nabi saja di mata mereka, sehingga tak jarang petuah Kyai jauh lebih manjur dan langsung dilakoni jamaahnya meski sebenarnya berselisih jauh dengan sabda Rasulullah.
Saya sendiri belum mengenal pasti asal muasal mengapa mereka begitu taat, ngajeni [ hormat sekali ], dan berpola pikir seperti itu terhadap Kyainya.
Rujukan Kyai mereka adalah kitab kuning yang sangat kental dan identik dengan kesehariannya, pola pendidikan salafiyah yang tradisional di pondok-pondok yang menjadi sumber menimba ilmu para generasinya juga masih terjaga dan melekat kuat di antara mereka.
Sederhana, bersahaja, rasa hormat penuh akan Kyai dan guru, manut [ taat ], tak boleh melawan Kyai, atau kebersamaan merupaka sebagian nilai-nilai yang saya amati telah berhasil dan terus tertanam turun temurun di antara mereka berbilang generasi. Inilah yang menjadi ciri khas mereka yang sangat tampak.
Nilai-nilai itu sangat postitif awalnya, tapi setelah ditelisik mendalam, ternyata mereka terdoktrin kepatuhan yang berlebihan, inilah yang menjadi masalahnya.
Para Kyai ingin agar mereka layaknya seorang raja, penuh kewibawaan dan ditaati semua masyarakatnya. Hal ini agar mereka benar-benar takut melakukan pelanggaran dalam kesehariannya dan terciptalah sebuah masyarakat yang penuh kedamaian.
Sayangnya, ajakan Kyai itu tertuju agar mereka hormat atau taat pada dirinya dan bukan pada ajaran Rasulullah. Sementara rujukan Pak Kyai banyak yang bersumber dari hadits-hadits dhoif, maudhu, atau bahkan munkar. Semua tertemu dari kitab-kitab kuningnya dan masih sebelah mata untuk membuka kitab-kitab putih yang lain.
Bahkan kerap kali mereka beristimbat dengan dalil termanjurnya, yakni istihsan [ menganggap baik sebuah perkara ]. Selama perkara itu dianggapnya baik menurut mereka, meski sejatinya bertentangan dengan nash yang shohih [ baik shorih [ jelas ] atau tidak ], maka ia boleh diamalkan.
Inilah yang menjadi cikal bakal menjamurnya amalan-amalan mereka yang jauh dari sunnah Rasulullah dan para Sahabatnya.
Perbuatan Kyai-Kyai mereka diperkuat dengan paradigma kolot masyarakatnya yang menganggap para Kyainya adalah manusia pilihan yang bersih, dan perkataan atau petuah mereka adalah selalu benar adanya.
Sulit terasa merubah sebuah paradigma yang kolot dan telah turun menurun di antara mereka. Inilah tugas kita-kita semua!
Wallohu a’lam bishowab
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/24/paradigma-kolot-masyarakat-nahdiyin--519251.html