SUMBER HUKUM ISLAM
AHLUSSUNAH WALJAMAAH
1. AL-QUR’AN
Pengertian Al-Qur’an menurut bahasa
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya bererti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Secara Syari’at :
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas
Al Quran menurut arti istilah (terminologi) yaitu
1. Alquran adalah firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir dengan perantaraan Malaikat Jibril yang tertulis di dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan membacanya, yang dimulai dengan surat Al fatihah dan ditutup dengan Surat Annas.
2. Alquran adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya yang menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek dari pada surat-surat yang ada di dalamnya.
3. Alquran diperintahkan untuk dibaca (selain dipelajari dan diamalkan) karena
4. Alquran ditulis di dalam mushaf, bahwa Alquran ini ditulis sejak masa turun (Nabi Muhammad SAW). Karena selalu ditulis inilah Alquran juga disebut “Alkitab”. Dewasa ini mushaf Alquran disebut “Mushaf Usmani” karena penulisannya mengikuti metode usman Bin Affan
2. HADIST (AS SUNNAH)
Sebagaimana telah diketahui bahwa diantara nama-nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah "Salafiyyun", sangatlah sesuai bila dijelaskan apa pengertian As Sunnah menurut bahasa dan istilah, kemudian kita uraikan pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta sebab-sebab munculnya istilah tersebut.
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup). Para Ulama bahasa berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR; Imam Muslim, Nasa’i, At Tarmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
(Yakni), ketika Nabi shalallahu’alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang baik (sunnah hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).
-Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits (muhaddits), sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih. Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat (budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum maupun sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].
-Sedangkan menurut ahli ushu fiqihl, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang dinukil dari Nabi shalallahu’alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau shalallahu’alaihi wa salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].
-As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang bukan wajib. Maka jika dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].
-Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang mereka maksud dengan As Sunnah adalah ma’na yang lebih luas daripada yang dipaparkan para muhaddits, ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Qur’an). Sedang sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam masalah ‘aqidah maupun ibadah. Lawannya adalah bid’ah.
Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si Fulan di atas bid’ah, jika amalannya menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As Sunnah dalam perkataan salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I’tiqad, meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan pembahasannya dalam bidang I’tiqad" [Lihat Al Amr bin Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar (hal 77)]
3. IJMA’
PENGERTIAN IJMA'
Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1) Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2) Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1) Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2) Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[14]
4. QIYASS
A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.
B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya).
2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ).
3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan asl.
http://mtsfalahulhuda.blogspot.com/2013/11/pengertian-alquran-hadist-ijma-dan-qiyas.html
http://mtsfalahulhuda.blogspot.com/2013/11/pengertian-alquran-hadist-ijma-dan-qiyas.html